Pages

Kamis, 15 Agustus 2019

Pegiat Sejarah Ungkap Riwayat Benteng Kedung Cowek Surabaya, Layak Disebut Cagar Budaya?

Soekarno pernah menyampaikan sebuah kalimat yang menggelorakan jiwa rakyat Indonesia.

Jangan pernah sekali-kali melupakan sejarah.

Tujuan Soekarno menyampaikan hal itu agar bangsa Indonesia tidak kehilangan jati dirinya.

Memasuki bulan Agustus, biasanya bangsa Indonesia merayakan hari kemerdekaannya.

Para pahlawan pun akan banyak dikenang jasanya.

Satu di antara hal yang bisa dilakukan untuk menghargai jasa para pahlawan adalah merawat tempat-tempat yang memiliki nilai sejarah.

Tujuannya, agar tempat bersejarah itu tidak hilang ditelan zaman.


Pegiat Sejarah Surabaya, Ady Setyawan


Sebab, belakangan memang banyak tempat bersejarah yang terancam hilang.

Satu di antaranya seperti Benteng Kedung Cowek, Surabaya yang kini tengah menjadi polemik.

Sebab belakangan benteng itu disebut-sebut akan jatuh ke swasta.

Hal itu kemudian memicu reaksi masyarakat Surabaya.

Tidak terkecuali pegiat sejarah Roodebrug Soerabaia, Ady Setyawan.

Ady mengungkapkan, Benteng Kedung Cowek memiliki historis yang panjang.

Menurutnya, benteng tersebut dibangun pada tahun 1900-an.

Itu terbukti dari arsip yang ditemukannya pada sebuah artikel koran terbitan Belanda.

"Saya dapat cetak birunya dari Belanda. Itu bisa terlihat, Benteng Kedung Cowek itu mulai direncanakan dan ditandatangani tahun 1900. Mulai 1899 sampai 1900 direncanakan," ungkap Ady kepada TribunJatim.com, Rabu (31/7/2019).

Selanjutnya, menurut Ady pada tahun 1903 ada artikel yang menyebutkan Benteng Kedung Cowek akan direnovasi pada tahun 1903.

"Itu berarti bentengnya sudah ada. Karena nanti bangunan yang baru itu akan dibangun dengan beton untuk menahan gempuran," jelas Ady.

Bahkan, menurut Ady, pada tanggal 15 Juli 1902 terjadi pendatangan meriam.

"Didatangkan tiga meriam dengan kaliber 150 milimeter, yang akan ditempatkan di benteng pertahanan pantai Kedung Cowek," terang Ady.

Sehingga, hal itu menguatkan keyakinan Ady, bangunan Benteng Kedung Cowek sebenarnya sudah berusia lebih dari 100 tahun.

Oleh karena itu, Benteng Kedung Cowek pun masuk ke dalam bangunan cagar budaya yang harus dilindungi.

Ady mengungkapkan, dirinya pun sudah melakukan berbagai cara untuk menyelamatkan Benteng Kedung Cowek.

Misalnya, ikut memberikan sejumlah arsip hingga menggelar seminar.

"Bahkan, kami menggelar diskusi yang persiapannya sangat kilat Hari Raya kemarin, dan dihadiri oleh sejumlah tokoh penting, serta masyarakat," ungkap Ady.

Termasuk juga mengirim surat ke Pangdam V/ Brawijaya, dan mengunjungi Benteng Kedung Cowek bersama Ketua DPRD Surabaya, Armuji.

Kondisi Benteng Kedung Cowek (TribunJatim.com)


"Setelah melihat langsung Benteng Kedung Cowek, Pak Armuji benteng itu harus dirawat. Bahkan, perwakilan TNI juga hadir, dan menunjukkan bukti bahwa aset itu milik mereka," ujar Ady.

Oleh karena itu, Ady berharap Pemkot Surabaya juga memiliki upaya keras untuk menyelamatkan Benteng Kedung Cowek.

"Mereka harus aktif, jangan begini cara kerjanya. Anda itu dapat gaji juga dari kami pembayar pajak," tandas Ady.


Artikel ini pernah tayang di TribunJatim.com Upaya Warga Surabaya Selamatkan Benteng Kedung Cowek, Benteng Berusia Ratusan Tahun

Selasa, 25 Juni 2019

Benarkah Rumah Nyai Ontosoroh Bumi Manusia Ada di Jalan Joyoboyo Surabaya? Pengamat Sejarah Beri Penjelasan

Mereka yang menggilai Tetralogi Pulau Buru, karya Pramoedya Ananta Toer, tentu tidak asing mendengar nama Nyai Ontosoroh.

Sebab, sosok Nyai Ontosoroh memang mengambil porsi yang cukup besar dalam novel tersebut.

Tentu saja, kehadiran Nyai Ontosoroh yang sangat menyita perhatian saat dia muncul dalam satu novel di antara tetralogi tersebut, tepatnya dalam novel Bumi Manusia.

Belakangan, novel Bumi Manusia memang akan difilimkan, tepatnya pada Agustus 2019 film itu akan ditayangkan di Bioskop di Indonesia.

Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia, diceritakan penulisnya, Pramoedya Ananta Toer, sebagai sosok wanita yang cerdas, dan tegar.

Kondisi terkini Rumah di Jalan Joyoboyo


Nyai Ontosoroh mengelola bisnis perkebunan bersama anaknya Annelies.

Nyai Ontosoroh harus mengalami ketidakadilan oleh kebijakan pemerintah kolonial saat itu.

Tepatnya, saat Annelies diwajibkan pulang ke Belanda, negeri asal ayahnya yang berkebangsaan Belanda.

Hal itu membuat Nyai Ontosoroh melakukan berbagai usaha untuk melawan, agar dirinya yang berstatus seorang nyai, atau kaum pribumi yang diperistri para pria Belanda, mendapatkan kedudukan yang sejajar.

Rupanya, Nyai Ontosoroh tak sendirian.

Dia dibantu oleh Minke, yang merupakan tokoh utama dari novel itu, dan kekasih dari Annelies.

Terlepas dari semua itu, Pramoedya menuliskan dalam novelnya, Nyai Ontosoroh bertempat tinggal, dan memiliki perkebunan yang luas di Surabaya.

Tepatnya, di Wonokromo.

Bahkan, menurut Pramoedya, rumah Nyai Ontosoroh tersebut sangat besar.

Sejumlah kabar di masyarakat menyebutkan, rumah yang diyakini menginspirasi Pramoedya untuk dijadikan sebagai rumah legendaris milik Nyai Ontosoroh itu benar-benar terletak di Wonokromo.

Rumah tersebut terletak di sekitar Terminal Joyoboyo, Surabaya.

Pengamat Sejarah Kota Surabaya, Kuncarsono Prasetyo pun berbicara mengenai hal ini.

Menurut Kuncar, sapaan akrabnya, rumah tersebut merupakan bekas kantor utama stasiun trem yang ada di tempat itu.

Tepatnya, sekitar tahun 1888.

Sebab, sebelum menjadi Terminal Joyoboyo, lokasi itu memang merupakan stasiun trem.

Kondisi bagian belakang rumah di Jalan Joyoboyo


"Stasiun trem itu dilalui oleh jalur dari Sepanjang, lalu sampai masuk ke kawasan Kota Surabaya, hingga Perak," ucap Kuncar saat dihubungi oleh TribunJatim,com, Rabu (27/2/2019).


Oleh karena itu, menurut Kuncar, di belakang rumah bergaya Indis itu seharusnya masih ada rel kereta.

Meski demikian, Kuncar mengungkapkan, Pramoedeya sebenarnya tidak pernah datang ke Surabaya.

Sehingga, bisa jadi hal itu memang berdasarkan imajinasi dari Pramoedya.

"Bisa jadi memang menginspirasi, tapi Pram memang tidak pernah ke Surabaya," ucap Kuncar.

Menurutnya, Pram memang memiliki kelebihan dalam hal berminajinasi saat menuliskan novelnya.

Termasuk saat menuliskan Bumi Manusia.

"Novel itu sendiri kan memang ditulis saat Pram ditahan di Pulau Buru. Jadi memang agak bersifat fiksi. Meskipun beberapa tempat yang disebutkan Pram memang ada, misalnya Kranggan dan sebagainya," tandas Kuncar.

Rumah di Jalan Joyoboyo tampak dari samping


Artikel ini pernah tayang di TribunJatim.com dengan perubahan

Melacak Legenda Rumah Nyai Ontosoroh di Novel Bumi Manusia, Pengamat Sejarah Beri Penjelasan

Selasa, 20 Februari 2018

Kisah Naskah Mahakarya Pramoedya Diselundupkan di Lubang 'Tinja'

Pencinta sastra tentu mengenal novel sejarah Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Novel dengan latar Indonesia pada masa penjajahan Belanda pada 1898 hingga 1918 itu disebut sebagai salah satu mahakarya atau karya terbaik Pramoedya.

Bumi Manusia ialah satu di antara empat novel (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca) yang dikenal juga dengan sebutan Tetralogi Buru, karena dikarang saat Pramoedya diasingkan di Pulau Buru, Maluku, pada 1969 sampai 1979.

Bumi Manusia telah 19 kali cetak ulang sejak tahun 1980 sampai 2015. Diterjemahkan ke dalam 33 bahasa, di antaranya, Belanda, Tiongkok, Inggris, Jerman, Rusia, Ukraina, Swedia, Jepang, Spanyol, Perancis, Italia, Norwegia, India, Thailand, Filipina, dan lain-lain.

Tetralogi Buru mengantarkan Pramoedya meraih banyak penghargaan dunia di bidang sastra. Karena Tetralogi Buru pula Pramoedya berkali-kali masuk dalam daftar kandidat pemenang penghargaan Nobel untuk kategori sastra.

Majalah Time pernah menulis: “Pramoedya Ananta Toer, kandidat Asia paling utama untuk Hadiah Nobel.”

The New York Times menyebut “Pramoedya Ananta Toer adalah seorang master cemerlang dalam mengisahkan liku-liku emosi, watak, dan aneka motivasi yang serba rumit.”

Bumi Manusia, ditulis The Los Angeles Times, “Menukik dalam, lancar penuh makna, dan menggairahkan seperti James Balwin … Segar, cerdas, kelabu, dan gelap seperti Dashiell Hammett. Pramoedya adalah seorang novelis yang harus mendapat giliran menerima Hadiah Nobel.”

Sumber: https://www.viva.co.id/berita/nasional/731939-kisah-naskah-mahakarya-pramoedya-disimpan-di-lubang-tinja

Penyelundupan naskah

Namun tak banyak orang yang mengetahui kisah sebelum Bumi Manusia dicetak untuk kali pertama, sampai ke tangan pembaca, dan kemudian melambungkan nama Pramoedya. Pramoedya, yang dibuang ke Pulau Buru karena dituduh terlibat gerakan Partai Komunis Indonesia pada 1965, mengarang Bumi Manusia secara sembunyi-sembunyi di tahanan Pulau Buru.

Manuskrip atau naskah asli Bumi Manusia tak mungkin bisa keluar Pulau Buru karena pengawasan super ketat di sana. Ada seorang pria yang berjasa menyelundupkan naskah asli Bumi Manusia keluar Pulau Buru. Dia adalah Oei Hiem Hwie. Lelaki yang kini berusia 81 itu pernah ditahan juga bersama Pramoedya di Pulau Buru.

Oei sebenarnya kelahiran Malang tetapi bermukim di Surabaya setelah bebas dari Pulau Buru. Dia mendirikan sebuah perpustakaan untuk umum di Surabaya. Sebagian buku koleksinya adalah semua karya Pramoedya, termasuk naskah asli Bumi Manusia.

Oei bercerita, dia dikirim ke Pulau Buru pada tahun 1970, setahun setelah Pramoedya. Dia sebelumnya memang telah mengetahui Pramoedya ditahan di Pulau Buru tetapi belum tahu persis lokasi blok tempat Sang Master dibui.

Oei pun mencari informasi tentang di blok mana Pramoedya ditahan. Usahanya membuahkan hasil. Oei memperoleh informasi bahwa Pramoedya ditahan di Unit III. Dia mengakui sebenarnya informasi keberadaan Pramoedya didapat dengan relatif mudah. Sebabnya Pramoedya adalah orang yang populer sehingga banyak pula tahanan politik yang mengenalinya.

Keduanya mengobrol dan berdiskusi banyak hal setelah bertemu. Mereka kemudian kian akrab. Oei mengaku sering membantu Pramoedya, termasuk membantu melobi penjaga tahanan untuk meminjam mesin ketik.

Dengan mesin ketik itu, Pramoedya mengarang sebuah naskah yang kemudian menjadi cikal-bakal novel Bumi Manusia. Namun aktivitas mengarang itu dilakukan Pramoedya dengan sembunyi-sembunyi.

Untuk menjaga agar naskah hasil karangan itu tidak diketahui penjaga, Pramoedya dan Oei bersekongkol membuat lubang yang ditutupi sehingga menyerupai tempat penampungan tinja atau septic tank.

“Kami membungkus naskah yang diketik Pram di kertas tipis itu dengan daun pisang, dan dimasukkan ke lubang itu. Jadi orang-orang mengira kalau lubang itu memang tempatnya tinja,” kata Oei ditemui VIVA.co.id pada Senin, 1 Februari 2016.
Sumber: https://www.viva.co.id/berita/nasional/731939-kisah-naskah-mahakarya-pramoedya-disimpan-di-lubang-tinja

Pramoedya menolak

Berbagai naskah itu kemudian dikumpulkan Oei. Dia juga menyatukan semua naskah dengan lem yang terbuat dari singkong yang direbus hingga tanak. Saat Oei bebas, Pramoedya menitipkan naskah itu kepadanya.

Awalnya, Oei merasa khawatir dengan tindakan Pramoedya. Beruntung saat itu naskah yang telah disampul dengan kertas semen berulang kali lolos dari pemeriksaan, termasuk pemeriksaan saat Oei berada di kapal untuk kembali pulang ke Surabaya.

Meski demikian, Oei mengaku bahwa bukan hanya dia yang telah menyelamatkan naskah asli Bumi Manusia itu. Seorang pastor juga ikut menyelipkan naskah itu, bahkan mengirimkannya kepada Hasta Mitra, penerbit buku yang kali pertama mencetak Bumi Manusia.

Setelah Pramoedya bebas dari tahanan Pulau Buru, Oei berencana mengembalikan semua naskah yang disimpannya. Namun Pramoedya justru menolaknya. Pramoedya hanya meminta fotokopi semua naskah karyanya. Oei menduga, Pramoedya masih khawatir naskah itu akan dirampas aparat pemerintah Orde Baru. Dia merasa akan lebih aman jika naskah itu disimpan Oei.

Sampai sekarang naskah itu masih disimpan Oei di perpustakaan miliknya, yang juga dibuka untuk umum, Medayu Agung. "Jadi, biarlah seluruh generasi muda bisa mengaksesnya, karena naskah itu pada dasarnya milik semua anak bangsa," ujar Oei.


Sumber: https://www.viva.co.id/berita/nasional/731939-kisah-naskah-mahakarya-pramoedya-disimpan-di-lubang-tinja

Sedapnya Nyeruput Kaldu Krokot Tulang Sumsum Madura

Bagi sebagian orang, Madura selalu dikaitkan dengan salah satu budaya unik, yaitu karapan sapi. Namun, Madura rupanya tidak hanya kaya akan budayanya, melainkan juga memiliki kuliner yang cukup beragam.

Salah satu kuliner khas Madura yang layak dicicipi adalah krokot tulang sumsum. Kuliner ini memang cukup mudah dan banyak ditemui di Madura, khususnya di Kabupaten Sampang.

Namun, salah satu tempat yang cukup terkenal karena menjual makanan ini adalah Warung Kaldu Al Ghazali. Krokot merupakan makanan dengan bahan dasar tulang sapi.

Ujung tulang tersebut berlubang karena telah dipatahkan. Lalu pada bagian luar tulang itu masih terdapat sebagian daging sapi.

Sedangkan, pada bagian dalam tulang terdapat sumsum lembut. Untuk bisa memakan sumsum tersebut harus menggunakan sedotan.

“Jadi makannya harus diseruput seperti minum, tapi rasanya nikmat sekali,” kata pemilik warung Ghazali, di Sampang, Madura, Minggu, 27 Maret 2016. 

Ghazali mengungkapkan, untuk mendapatkan rasa krokot yang enak, dia memasaknya dengan sejumlah rempah-rempah.

“Lalu kita campur dengan santan, dan direbus dalam air panas selama beberapa jam, lalu jadilah krokot tulang sumsum yang kental,” ungkap Ghazali.
Sumber: https://www.viva.co.id/gaya-hidup/kuliner/753119-nikmatnya-menyeruput-krokot-tulang-sumsum-madura

Untuk menikmati kuliner tersebut, para pengunjung tidak perlu merogoh kocek terlalu dalam. Sebab, hanya dengan uang sekitar Rp40 ribu, maka seporsi krokot tulang sumsum, beserta nasi putih sudah bisa dinikmati.

Salah seorang pengunjung Panca Indra, asal Sidoarjo, mengungkapkan, krokot tulang sumsum yang disediakan di Warung Kaldu Al Ghazali berbeda dengan tempat lain. “Kuah kaldunya lebih kental, aroma sapinya kuat, dan ada sedikit rasa pedasnya,” papar Panca.

Panca mengatakan, dia selalu menyempatkan diri untuk mampir ke tempat itu apabila dia sedang berada di Madura.

“Saya dua bulan sekali selalu ke Madura karena mengunjungi orangtua, dan selalu makan di sini juga, krokotnya bikin kangen. Soalnya di Sidoarjo, atau di Surabaya tidak ada yang jual,” ucapnya.

Tulisan ini pernah dimuat di VIVA.co.id, 28 Maret 2016

Senin, 19 Februari 2018

Masjid Kemayoran Simbol Nasionalisme Warga Surabaya


Sebagai sebuah kota yang telah berusia 722 tahun, Surabaya tentunya memiliki banyak bangunan cagar budaya yang bernilai sejarah tinggi. Sayang, tidak semuanya diketahui oleh masyarakat sebagai cagar budaya.

Padahal, tidak jarang bangunan-bangunan tersebut memiliki sejarah, dan cerita yang menarik di balik pembangunannya. Salah satunya adalah Masjid Kemayoran yang ada di Jalan Indrapura. 
Masjid yang sebenarnya bernama Roudhotul Musawwaroh ini didirikan pada tahun 1772 silam.

Terdapat cerita menarik di balik pendirian masjid ini. Awalnya, lokasi Masjid Rhoudotul Musawwaroh tidaklah berada di Jalan Indrapura seperti sekarang ini. Melainkan, berada di depan Kantor Gubernur Jatim, atau Jalan Pahlawan tepatnya berada di areal Tugu Pahlawan sebelum tahun 1722.

Salah seorang Takmir Masjid Kemayoran Subhan mengatakan, keberadaan Masjid Rhoudotul Musawwaroh saat itu dipermasalahkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Alasannya saat itu pemerintah Belanda merasa terganggu dengan adanya masjid tersebut. “Mereka itu orang-orang Belanda risih kalau di depannya ada pengajian, adzan, dan puji-pujian dari masjid,”tutur Subhan.

Oleh karena itu, pemerintah Belanda kemudian meminta kepada warga agar tidak tidak ada masjid di tempat itu. Keinginan semacam itu tentu saja langsung ditolak oleh masyarakat. Bahkan, masyarakat pun menjadi marah karenanya. Akibatnya pertempuran hebat puin meletus pada tahun 1750. Subhan menuturkan, pertempuran itu dipimpin langsung oleh Kiai Badrun.

Berdasarkan pengakuan Subhan, Kiai Badrun merupakan kerabat dari Paku Alam V dari Kasunan Surakarta. “Jadi beliau itu masih memiliki keturunan ningrat,”urai Subhan. 

Dalam pertempuran itu, Kiai Badrun gugur tertembak oleh pasukan Belanda. Sebagai bentuk penghargaan atas kepemimpinannya dalam melawan Belanda, masyarakat sekitar pun memberinya gelar sebagai Mbah Sedo Masjid.

Meski demikian, konflik terkait pemindahan masjid itu masih belum berhenti. Masyarakat saat it uterus melakukan perlawanan terhadap rencana Belanda tersebut. 

Perlawanan yang begitu hebat dari masyarakat saat itu akhirnya membuahkan hasil. Belanda kemudian mengubah kebijakannya. Caranya, dengan memindahkan masjid itu ke lokasi lainnya. “Jadi semacam dilakukan tukar guling tanah,”ucap Subhan.

Kebijakan itu pun mendapatkan persetujuan dari masyarakat. Sehingga, masjid itu dipindahkan ke sebuah lahan bekas milik seorang milik mayor angkatan darat Belanda, yang berada di sisi utara lokasi asal. “Makanya, masyarakat kemudian sering menyebut masjid ini dengan nama Masjid Kemayoran,”papar Subhan.

Subhan melanjutkan, saat dipindahkan awalnya masjid ini memiliki dua menara, atau menara kembar. Namun, belakangan menara tersebut hanya tinggal sebuah. Menurutnya, hal itu disebabkan adanya gempa yang pernah melanda Surabaya. Sayang, Subhan tidak mengingat dengan jelas kapan hal itu terjadi.

Penjelasan itu juga untuk membantah kabar yang selama ini beredar, jika masjid menara itu tinggal sebuah karena adanya sambaran petir. “Jadi yang soal tersambar petir itu sama sekali tidak benar,”bantah Subhan.

Sumber foto: http://surabaya.panduanwisata.id/wisata-religi/mengenang-sejarah-dan-wisata-religi-di-masjid-kemayoran/

Selain menara yang hanya tinggal satu, Subhan mengungkapkan, sebagian kondisi masjid yang memiliki luas sekitar 800 meter persegi itu memang telah mengalami perubahan. Salah satunya dengan membangun ruang tambahan, serta tempat wudhu agar bisa lebih banyak jamaah yang bisa tertampung. Sedangkan, beberapa bagian asli dari masjid itu tampak masih dipertahankan. Misalnya, sebuah prasasti yang tertempel di dalam masjid. 

Prasasti itu ditulis dalam aksara Jawa, yang berisi tentang pernyataan dari Gubernur Jenderal Belanda saat itu Mister Daniel Frans Willem Pietermat, yang telah memberikan masjid itu kepada warga. Dalam prasasti itu juga disebutkan masa pembangunan masjid itu antara tahun 1772 hingga 1776.  

Sementara itu, sejarawan Surabaya Dukut Imam Widodo mengatakan bangunan Masjid Roudhotus Musawwaroh, atau Masjid Kemayoran yang saat ini sudah jauh berbeda dengan bentuk aslinya. “Sepertinya memang sudah banyak direnovasi untuk berbagai keperluan, seperti yang ada di ruang utama masjid,”jelas Dukut.

Penulis buku Soerabaia Tempo Doeloe itu menyayangkan renovasi besar-besaran masjid itu, yang justru menghilangkan corak asli bangunan. “Masyarakat kita itu kalau membangun rata-rata selalu disertai dengan perobohan bangunan asli, dan selalu mementingkan kemegahan. Padahal, kalau mau mempercantik kan bisa dengan menambah bangunan baru di sekitar masjid,”sesal Dukut. (jan)   (Tulisan ini pernah diterbitkan di Harian Radar Surabaya)

Selasa, 03 Januari 2017

Kabar Hoax 2017, Buto Ijo, dan Pemimpin Terbaik Asia Tenggara Versi Bloomberg



Sebelume aku mau ngucapin Selamat Tahun Baru 2017 buat pembaca setia blogku ini. Eaaa…emang ada? #sokngartis

Harapan baru pun banyak diucapin orang2 di tahun yang baru ini. Mulai dari rezeki yang makin berlimpah, kesehatan, bahkan sampai datangnya jodoh yang sekarang entah di mana? #galaumaksimal buat yang masih jomblo. 

Tapi harapan yang paling asik tuh ya berkurangnya ato bahkan hilangnya berita HOAX dari jagat sosmed di Indonesia. Hmmm… kira2 bisa ndak ya?
 
Nah ini yang bakalan jadi pertanyaan kita gan. Kita mesti apresiasi sih usahanya pemerintah buat merangin hoax. Secara sekarang ini banyak banget kabar hoax yang beredar di sosmed. Mulai dari aku yang disebut-sebut mirip ama Nicholas Saputra, lalu digosipin pacaran ama Pevita dan sebagainya.
Tapi kalo jadi kenyataan ya gak papa sih. 
Foto:


http://komputerlamongan.com/wp-content/uploads/2014/12/Berita-Sampah-dalam-Internet-Hoax.jpg


Ok fokus ke masalah asal ya gan. Tapi sadar gak sih, klo sejak kecil kita selalu nerima kabar, cerita dan segala sesuatu yang berbau hoax dari orang tua kita, ato orang yang lebih dulu hidup di Indonesia.
Misalnya klo ada gerhana bulan, tuh orang2 tua mesti bilang kalo bulannya lagi dimakan ama Buto Ijo ato raksasa. Terus klo ada cewek yang nyapunya gak bersih, mesti dibilang nanti kalo suaminya bakalan berewokan. 

Terus Hoax untuk tingkatan yang beda tingkatan lagi…#tssaahhh… beda tingkatan he he…misalnya persoalan klo Indonesia ini dijajah Belanda 350 tahun. Ini kan hoax gan…padahal Belanda lah yang butuh ratusan tahun buat naklukin seluruh Indonesia, bukan kita yang dijajah. Gak percaya? Sonoh…baca buku Bukan 350 Tahun Dijajah-nya Resink. 

Terus ada yang bilang klo Maja Pahit tuh nyatuin seluruh nusantara. Gak percaya ini hoax? Coba tanyain deh ke daerah lainnya di luar Jawa, ato misalnya cukup ke Sunda aja. Pasti jawabannya beda banget. Apa ndak hoax juga tuh?

Makanya, sebenarnya kita tuh uda biasa hidup dengan hoax. Bahkan, cenderung menyukai hoax, asalkan itu hoax yang menyenangkan. Makanya, aneh juga klo pemerintah sekarang mau merangin kabar hoax. Tapi gimanapun juga tetep salut dan perlu diapresiasi lah. Setidake kemaren2 kan baru dapet penghargaan dari Bloomberg sebagai pemimpin terbaik se Asia Tenggara. Eh…itu termasuk HOAX bukan juga ndak ya? #ups keceplosan

Kamis, 24 November 2016

Aksi 2 Desember…Ayo Makar(yo)



Belakangan beberapa sosial media punyaku lagi rame bahas rencana demo tanggal 2 Desember nanti. Mulai dari FB, Twitter, Instagram. Bahkan, beberapa grup WA juga rame ikutan bahas rencana demo itu sih.
Isinya sih pembelaan dari masing-masing pihak. Baik yang pro ato yang kontra.

 Klo yang pro demo sih bilangnya untuk menyuarakan aspirasi, dan sebagai bentuk dukungan kepada polisi supaya segera nangkep Ahok yang dianggap lancang, dan menistakan agama Islam. Nah, klo yang kontra katanya tuh demo ngancam kebhinekaan di Indonesia. Soalnya yang demo sebagian besar tuh Umat Islam, walaupun dari berbagai daerah di Indonesia, jadi yang lain ngerasa eksistensinya bakalan terancam. Terus, mereka khawatir tuh demo diarahin buat nggagalin Ahok maju Pilkada DKI Jakarta, ama ngejatuhin Presiden Jokowi.

Buat mereka yang mau demo, mereka bilangnya bukan demo, cuman salat Jumat di beberapa ruas jalan yang ada di Jakarta. Nah, bagi yang kontra bilang, siap mengerahkan pasukan buat menghadang mereka yang mau salat Jumat di jalan. Pasukannya pun juga beragam, bahkan sampai ada yang pasukan partikelir, tapi pengen jadi kayak tentara gitu, pakai baju doreng, klo gak salah namanya Banter. Iya paling Banter (Bahasa Jawa, artinya cepat), klo disuruh berantem sesama rakyat sendiri ha ha ha…



https://img.okezone.com/content/2016/11/02/18/1531426/demo-4-november-di-jakarta-jadi-sorotan-media-asing-LnIyeICsqy.jpg
 



Terus ada lagi ormas yang ngakunya paling gede sejagat raya, yang sampai keluarin fatwa, klo salat Jumat di jalan itu gak boleh. Nah sampai segitunya….knp tiba2 muncul fatwa itu bos? Apa dananya baru cair, makanya fatwanya baru keluar?
Ahhhh…sampai segitunya ya?
Tapi entahlah, namanya  politik, ama kebutuhan perut itu emang teman dekat. Makanya gak usah dipersoalin lagi deh.
Kalo aku yg penting bisa ngopi, ama tidur pules aja udah cukup. Ngapain mikir demo2 kayak gitu. Yang mau demo ya monggo, namanya juga orang mau nyampein aspirasinya, masak mau dilarang? Katanya negara menjamin warganya menyampaikan pendapat. Apalagi klo demonya pakai salat Jumat, kan jadi adem men. 

Mengenai katanya ganggu lalu lintas, ah itu sih bisa diakalin pake reyasa lalu lintas. Simple toh?
Terus buat yang nolak ya silakan. Mereka juga punya hak buat ngomong, tapi tetep ndak boleh ngelarang orang lain sih he he…

Jadi sebenarnya persoalan ini simple banget. Intinya sih semuanya saling menghormati, dan gak perlu ada yang ngelarang2. Aku yakin, demonya juga gak bakal sampai ada makar….klo itu sih kejauhan gan. Orang mau salat Jumat kok dituduh makar. Daripada makar, ya mending makaryo atau kerja.
Uda dulu ya guys….ini uda dipanggil istri. Maklum dia lagi hamil, jadi harus kasih perhatian lebih, dan gak boleh nulis kenceng2 katanya, pamali…xixixixi

About

Planet Blog

PlanetBlog - Komunitas Blog Indonesia

Indonesian Blogger