Pages

Senin, 19 Februari 2018

Masjid Kemayoran Simbol Nasionalisme Warga Surabaya


Sebagai sebuah kota yang telah berusia 722 tahun, Surabaya tentunya memiliki banyak bangunan cagar budaya yang bernilai sejarah tinggi. Sayang, tidak semuanya diketahui oleh masyarakat sebagai cagar budaya.

Padahal, tidak jarang bangunan-bangunan tersebut memiliki sejarah, dan cerita yang menarik di balik pembangunannya. Salah satunya adalah Masjid Kemayoran yang ada di Jalan Indrapura. 
Masjid yang sebenarnya bernama Roudhotul Musawwaroh ini didirikan pada tahun 1772 silam.

Terdapat cerita menarik di balik pendirian masjid ini. Awalnya, lokasi Masjid Rhoudotul Musawwaroh tidaklah berada di Jalan Indrapura seperti sekarang ini. Melainkan, berada di depan Kantor Gubernur Jatim, atau Jalan Pahlawan tepatnya berada di areal Tugu Pahlawan sebelum tahun 1722.

Salah seorang Takmir Masjid Kemayoran Subhan mengatakan, keberadaan Masjid Rhoudotul Musawwaroh saat itu dipermasalahkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Alasannya saat itu pemerintah Belanda merasa terganggu dengan adanya masjid tersebut. “Mereka itu orang-orang Belanda risih kalau di depannya ada pengajian, adzan, dan puji-pujian dari masjid,”tutur Subhan.

Oleh karena itu, pemerintah Belanda kemudian meminta kepada warga agar tidak tidak ada masjid di tempat itu. Keinginan semacam itu tentu saja langsung ditolak oleh masyarakat. Bahkan, masyarakat pun menjadi marah karenanya. Akibatnya pertempuran hebat puin meletus pada tahun 1750. Subhan menuturkan, pertempuran itu dipimpin langsung oleh Kiai Badrun.

Berdasarkan pengakuan Subhan, Kiai Badrun merupakan kerabat dari Paku Alam V dari Kasunan Surakarta. “Jadi beliau itu masih memiliki keturunan ningrat,”urai Subhan. 

Dalam pertempuran itu, Kiai Badrun gugur tertembak oleh pasukan Belanda. Sebagai bentuk penghargaan atas kepemimpinannya dalam melawan Belanda, masyarakat sekitar pun memberinya gelar sebagai Mbah Sedo Masjid.

Meski demikian, konflik terkait pemindahan masjid itu masih belum berhenti. Masyarakat saat it uterus melakukan perlawanan terhadap rencana Belanda tersebut. 

Perlawanan yang begitu hebat dari masyarakat saat itu akhirnya membuahkan hasil. Belanda kemudian mengubah kebijakannya. Caranya, dengan memindahkan masjid itu ke lokasi lainnya. “Jadi semacam dilakukan tukar guling tanah,”ucap Subhan.

Kebijakan itu pun mendapatkan persetujuan dari masyarakat. Sehingga, masjid itu dipindahkan ke sebuah lahan bekas milik seorang milik mayor angkatan darat Belanda, yang berada di sisi utara lokasi asal. “Makanya, masyarakat kemudian sering menyebut masjid ini dengan nama Masjid Kemayoran,”papar Subhan.

Subhan melanjutkan, saat dipindahkan awalnya masjid ini memiliki dua menara, atau menara kembar. Namun, belakangan menara tersebut hanya tinggal sebuah. Menurutnya, hal itu disebabkan adanya gempa yang pernah melanda Surabaya. Sayang, Subhan tidak mengingat dengan jelas kapan hal itu terjadi.

Penjelasan itu juga untuk membantah kabar yang selama ini beredar, jika masjid menara itu tinggal sebuah karena adanya sambaran petir. “Jadi yang soal tersambar petir itu sama sekali tidak benar,”bantah Subhan.

Sumber foto: http://surabaya.panduanwisata.id/wisata-religi/mengenang-sejarah-dan-wisata-religi-di-masjid-kemayoran/

Selain menara yang hanya tinggal satu, Subhan mengungkapkan, sebagian kondisi masjid yang memiliki luas sekitar 800 meter persegi itu memang telah mengalami perubahan. Salah satunya dengan membangun ruang tambahan, serta tempat wudhu agar bisa lebih banyak jamaah yang bisa tertampung. Sedangkan, beberapa bagian asli dari masjid itu tampak masih dipertahankan. Misalnya, sebuah prasasti yang tertempel di dalam masjid. 

Prasasti itu ditulis dalam aksara Jawa, yang berisi tentang pernyataan dari Gubernur Jenderal Belanda saat itu Mister Daniel Frans Willem Pietermat, yang telah memberikan masjid itu kepada warga. Dalam prasasti itu juga disebutkan masa pembangunan masjid itu antara tahun 1772 hingga 1776.  

Sementara itu, sejarawan Surabaya Dukut Imam Widodo mengatakan bangunan Masjid Roudhotus Musawwaroh, atau Masjid Kemayoran yang saat ini sudah jauh berbeda dengan bentuk aslinya. “Sepertinya memang sudah banyak direnovasi untuk berbagai keperluan, seperti yang ada di ruang utama masjid,”jelas Dukut.

Penulis buku Soerabaia Tempo Doeloe itu menyayangkan renovasi besar-besaran masjid itu, yang justru menghilangkan corak asli bangunan. “Masyarakat kita itu kalau membangun rata-rata selalu disertai dengan perobohan bangunan asli, dan selalu mementingkan kemegahan. Padahal, kalau mau mempercantik kan bisa dengan menambah bangunan baru di sekitar masjid,”sesal Dukut. (jan)   (Tulisan ini pernah diterbitkan di Harian Radar Surabaya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

About

Planet Blog

PlanetBlog - Komunitas Blog Indonesia

Indonesian Blogger