Pages

Selasa, 20 Februari 2018

Kisah Naskah Mahakarya Pramoedya Diselundupkan di Lubang 'Tinja'

Pencinta sastra tentu mengenal novel sejarah Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Novel dengan latar Indonesia pada masa penjajahan Belanda pada 1898 hingga 1918 itu disebut sebagai salah satu mahakarya atau karya terbaik Pramoedya.

Bumi Manusia ialah satu di antara empat novel (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca) yang dikenal juga dengan sebutan Tetralogi Buru, karena dikarang saat Pramoedya diasingkan di Pulau Buru, Maluku, pada 1969 sampai 1979.

Bumi Manusia telah 19 kali cetak ulang sejak tahun 1980 sampai 2015. Diterjemahkan ke dalam 33 bahasa, di antaranya, Belanda, Tiongkok, Inggris, Jerman, Rusia, Ukraina, Swedia, Jepang, Spanyol, Perancis, Italia, Norwegia, India, Thailand, Filipina, dan lain-lain.

Tetralogi Buru mengantarkan Pramoedya meraih banyak penghargaan dunia di bidang sastra. Karena Tetralogi Buru pula Pramoedya berkali-kali masuk dalam daftar kandidat pemenang penghargaan Nobel untuk kategori sastra.

Majalah Time pernah menulis: “Pramoedya Ananta Toer, kandidat Asia paling utama untuk Hadiah Nobel.”

The New York Times menyebut “Pramoedya Ananta Toer adalah seorang master cemerlang dalam mengisahkan liku-liku emosi, watak, dan aneka motivasi yang serba rumit.”

Bumi Manusia, ditulis The Los Angeles Times, “Menukik dalam, lancar penuh makna, dan menggairahkan seperti James Balwin … Segar, cerdas, kelabu, dan gelap seperti Dashiell Hammett. Pramoedya adalah seorang novelis yang harus mendapat giliran menerima Hadiah Nobel.”

Sumber: https://www.viva.co.id/berita/nasional/731939-kisah-naskah-mahakarya-pramoedya-disimpan-di-lubang-tinja

Penyelundupan naskah

Namun tak banyak orang yang mengetahui kisah sebelum Bumi Manusia dicetak untuk kali pertama, sampai ke tangan pembaca, dan kemudian melambungkan nama Pramoedya. Pramoedya, yang dibuang ke Pulau Buru karena dituduh terlibat gerakan Partai Komunis Indonesia pada 1965, mengarang Bumi Manusia secara sembunyi-sembunyi di tahanan Pulau Buru.

Manuskrip atau naskah asli Bumi Manusia tak mungkin bisa keluar Pulau Buru karena pengawasan super ketat di sana. Ada seorang pria yang berjasa menyelundupkan naskah asli Bumi Manusia keluar Pulau Buru. Dia adalah Oei Hiem Hwie. Lelaki yang kini berusia 81 itu pernah ditahan juga bersama Pramoedya di Pulau Buru.

Oei sebenarnya kelahiran Malang tetapi bermukim di Surabaya setelah bebas dari Pulau Buru. Dia mendirikan sebuah perpustakaan untuk umum di Surabaya. Sebagian buku koleksinya adalah semua karya Pramoedya, termasuk naskah asli Bumi Manusia.

Oei bercerita, dia dikirim ke Pulau Buru pada tahun 1970, setahun setelah Pramoedya. Dia sebelumnya memang telah mengetahui Pramoedya ditahan di Pulau Buru tetapi belum tahu persis lokasi blok tempat Sang Master dibui.

Oei pun mencari informasi tentang di blok mana Pramoedya ditahan. Usahanya membuahkan hasil. Oei memperoleh informasi bahwa Pramoedya ditahan di Unit III. Dia mengakui sebenarnya informasi keberadaan Pramoedya didapat dengan relatif mudah. Sebabnya Pramoedya adalah orang yang populer sehingga banyak pula tahanan politik yang mengenalinya.

Keduanya mengobrol dan berdiskusi banyak hal setelah bertemu. Mereka kemudian kian akrab. Oei mengaku sering membantu Pramoedya, termasuk membantu melobi penjaga tahanan untuk meminjam mesin ketik.

Dengan mesin ketik itu, Pramoedya mengarang sebuah naskah yang kemudian menjadi cikal-bakal novel Bumi Manusia. Namun aktivitas mengarang itu dilakukan Pramoedya dengan sembunyi-sembunyi.

Untuk menjaga agar naskah hasil karangan itu tidak diketahui penjaga, Pramoedya dan Oei bersekongkol membuat lubang yang ditutupi sehingga menyerupai tempat penampungan tinja atau septic tank.

“Kami membungkus naskah yang diketik Pram di kertas tipis itu dengan daun pisang, dan dimasukkan ke lubang itu. Jadi orang-orang mengira kalau lubang itu memang tempatnya tinja,” kata Oei ditemui VIVA.co.id pada Senin, 1 Februari 2016.
Sumber: https://www.viva.co.id/berita/nasional/731939-kisah-naskah-mahakarya-pramoedya-disimpan-di-lubang-tinja

Pramoedya menolak

Berbagai naskah itu kemudian dikumpulkan Oei. Dia juga menyatukan semua naskah dengan lem yang terbuat dari singkong yang direbus hingga tanak. Saat Oei bebas, Pramoedya menitipkan naskah itu kepadanya.

Awalnya, Oei merasa khawatir dengan tindakan Pramoedya. Beruntung saat itu naskah yang telah disampul dengan kertas semen berulang kali lolos dari pemeriksaan, termasuk pemeriksaan saat Oei berada di kapal untuk kembali pulang ke Surabaya.

Meski demikian, Oei mengaku bahwa bukan hanya dia yang telah menyelamatkan naskah asli Bumi Manusia itu. Seorang pastor juga ikut menyelipkan naskah itu, bahkan mengirimkannya kepada Hasta Mitra, penerbit buku yang kali pertama mencetak Bumi Manusia.

Setelah Pramoedya bebas dari tahanan Pulau Buru, Oei berencana mengembalikan semua naskah yang disimpannya. Namun Pramoedya justru menolaknya. Pramoedya hanya meminta fotokopi semua naskah karyanya. Oei menduga, Pramoedya masih khawatir naskah itu akan dirampas aparat pemerintah Orde Baru. Dia merasa akan lebih aman jika naskah itu disimpan Oei.

Sampai sekarang naskah itu masih disimpan Oei di perpustakaan miliknya, yang juga dibuka untuk umum, Medayu Agung. "Jadi, biarlah seluruh generasi muda bisa mengaksesnya, karena naskah itu pada dasarnya milik semua anak bangsa," ujar Oei.


Sumber: https://www.viva.co.id/berita/nasional/731939-kisah-naskah-mahakarya-pramoedya-disimpan-di-lubang-tinja

Sedapnya Nyeruput Kaldu Krokot Tulang Sumsum Madura

Bagi sebagian orang, Madura selalu dikaitkan dengan salah satu budaya unik, yaitu karapan sapi. Namun, Madura rupanya tidak hanya kaya akan budayanya, melainkan juga memiliki kuliner yang cukup beragam.

Salah satu kuliner khas Madura yang layak dicicipi adalah krokot tulang sumsum. Kuliner ini memang cukup mudah dan banyak ditemui di Madura, khususnya di Kabupaten Sampang.

Namun, salah satu tempat yang cukup terkenal karena menjual makanan ini adalah Warung Kaldu Al Ghazali. Krokot merupakan makanan dengan bahan dasar tulang sapi.

Ujung tulang tersebut berlubang karena telah dipatahkan. Lalu pada bagian luar tulang itu masih terdapat sebagian daging sapi.

Sedangkan, pada bagian dalam tulang terdapat sumsum lembut. Untuk bisa memakan sumsum tersebut harus menggunakan sedotan.

“Jadi makannya harus diseruput seperti minum, tapi rasanya nikmat sekali,” kata pemilik warung Ghazali, di Sampang, Madura, Minggu, 27 Maret 2016. 

Ghazali mengungkapkan, untuk mendapatkan rasa krokot yang enak, dia memasaknya dengan sejumlah rempah-rempah.

“Lalu kita campur dengan santan, dan direbus dalam air panas selama beberapa jam, lalu jadilah krokot tulang sumsum yang kental,” ungkap Ghazali.
Sumber: https://www.viva.co.id/gaya-hidup/kuliner/753119-nikmatnya-menyeruput-krokot-tulang-sumsum-madura

Untuk menikmati kuliner tersebut, para pengunjung tidak perlu merogoh kocek terlalu dalam. Sebab, hanya dengan uang sekitar Rp40 ribu, maka seporsi krokot tulang sumsum, beserta nasi putih sudah bisa dinikmati.

Salah seorang pengunjung Panca Indra, asal Sidoarjo, mengungkapkan, krokot tulang sumsum yang disediakan di Warung Kaldu Al Ghazali berbeda dengan tempat lain. “Kuah kaldunya lebih kental, aroma sapinya kuat, dan ada sedikit rasa pedasnya,” papar Panca.

Panca mengatakan, dia selalu menyempatkan diri untuk mampir ke tempat itu apabila dia sedang berada di Madura.

“Saya dua bulan sekali selalu ke Madura karena mengunjungi orangtua, dan selalu makan di sini juga, krokotnya bikin kangen. Soalnya di Sidoarjo, atau di Surabaya tidak ada yang jual,” ucapnya.

Tulisan ini pernah dimuat di VIVA.co.id, 28 Maret 2016

Senin, 19 Februari 2018

Masjid Kemayoran Simbol Nasionalisme Warga Surabaya


Sebagai sebuah kota yang telah berusia 722 tahun, Surabaya tentunya memiliki banyak bangunan cagar budaya yang bernilai sejarah tinggi. Sayang, tidak semuanya diketahui oleh masyarakat sebagai cagar budaya.

Padahal, tidak jarang bangunan-bangunan tersebut memiliki sejarah, dan cerita yang menarik di balik pembangunannya. Salah satunya adalah Masjid Kemayoran yang ada di Jalan Indrapura. 
Masjid yang sebenarnya bernama Roudhotul Musawwaroh ini didirikan pada tahun 1772 silam.

Terdapat cerita menarik di balik pendirian masjid ini. Awalnya, lokasi Masjid Rhoudotul Musawwaroh tidaklah berada di Jalan Indrapura seperti sekarang ini. Melainkan, berada di depan Kantor Gubernur Jatim, atau Jalan Pahlawan tepatnya berada di areal Tugu Pahlawan sebelum tahun 1722.

Salah seorang Takmir Masjid Kemayoran Subhan mengatakan, keberadaan Masjid Rhoudotul Musawwaroh saat itu dipermasalahkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Alasannya saat itu pemerintah Belanda merasa terganggu dengan adanya masjid tersebut. “Mereka itu orang-orang Belanda risih kalau di depannya ada pengajian, adzan, dan puji-pujian dari masjid,”tutur Subhan.

Oleh karena itu, pemerintah Belanda kemudian meminta kepada warga agar tidak tidak ada masjid di tempat itu. Keinginan semacam itu tentu saja langsung ditolak oleh masyarakat. Bahkan, masyarakat pun menjadi marah karenanya. Akibatnya pertempuran hebat puin meletus pada tahun 1750. Subhan menuturkan, pertempuran itu dipimpin langsung oleh Kiai Badrun.

Berdasarkan pengakuan Subhan, Kiai Badrun merupakan kerabat dari Paku Alam V dari Kasunan Surakarta. “Jadi beliau itu masih memiliki keturunan ningrat,”urai Subhan. 

Dalam pertempuran itu, Kiai Badrun gugur tertembak oleh pasukan Belanda. Sebagai bentuk penghargaan atas kepemimpinannya dalam melawan Belanda, masyarakat sekitar pun memberinya gelar sebagai Mbah Sedo Masjid.

Meski demikian, konflik terkait pemindahan masjid itu masih belum berhenti. Masyarakat saat it uterus melakukan perlawanan terhadap rencana Belanda tersebut. 

Perlawanan yang begitu hebat dari masyarakat saat itu akhirnya membuahkan hasil. Belanda kemudian mengubah kebijakannya. Caranya, dengan memindahkan masjid itu ke lokasi lainnya. “Jadi semacam dilakukan tukar guling tanah,”ucap Subhan.

Kebijakan itu pun mendapatkan persetujuan dari masyarakat. Sehingga, masjid itu dipindahkan ke sebuah lahan bekas milik seorang milik mayor angkatan darat Belanda, yang berada di sisi utara lokasi asal. “Makanya, masyarakat kemudian sering menyebut masjid ini dengan nama Masjid Kemayoran,”papar Subhan.

Subhan melanjutkan, saat dipindahkan awalnya masjid ini memiliki dua menara, atau menara kembar. Namun, belakangan menara tersebut hanya tinggal sebuah. Menurutnya, hal itu disebabkan adanya gempa yang pernah melanda Surabaya. Sayang, Subhan tidak mengingat dengan jelas kapan hal itu terjadi.

Penjelasan itu juga untuk membantah kabar yang selama ini beredar, jika masjid menara itu tinggal sebuah karena adanya sambaran petir. “Jadi yang soal tersambar petir itu sama sekali tidak benar,”bantah Subhan.

Sumber foto: http://surabaya.panduanwisata.id/wisata-religi/mengenang-sejarah-dan-wisata-religi-di-masjid-kemayoran/

Selain menara yang hanya tinggal satu, Subhan mengungkapkan, sebagian kondisi masjid yang memiliki luas sekitar 800 meter persegi itu memang telah mengalami perubahan. Salah satunya dengan membangun ruang tambahan, serta tempat wudhu agar bisa lebih banyak jamaah yang bisa tertampung. Sedangkan, beberapa bagian asli dari masjid itu tampak masih dipertahankan. Misalnya, sebuah prasasti yang tertempel di dalam masjid. 

Prasasti itu ditulis dalam aksara Jawa, yang berisi tentang pernyataan dari Gubernur Jenderal Belanda saat itu Mister Daniel Frans Willem Pietermat, yang telah memberikan masjid itu kepada warga. Dalam prasasti itu juga disebutkan masa pembangunan masjid itu antara tahun 1772 hingga 1776.  

Sementara itu, sejarawan Surabaya Dukut Imam Widodo mengatakan bangunan Masjid Roudhotus Musawwaroh, atau Masjid Kemayoran yang saat ini sudah jauh berbeda dengan bentuk aslinya. “Sepertinya memang sudah banyak direnovasi untuk berbagai keperluan, seperti yang ada di ruang utama masjid,”jelas Dukut.

Penulis buku Soerabaia Tempo Doeloe itu menyayangkan renovasi besar-besaran masjid itu, yang justru menghilangkan corak asli bangunan. “Masyarakat kita itu kalau membangun rata-rata selalu disertai dengan perobohan bangunan asli, dan selalu mementingkan kemegahan. Padahal, kalau mau mempercantik kan bisa dengan menambah bangunan baru di sekitar masjid,”sesal Dukut. (jan)   (Tulisan ini pernah diterbitkan di Harian Radar Surabaya)

About

Planet Blog

PlanetBlog - Komunitas Blog Indonesia

Indonesian Blogger