Pages

Kamis, 15 Agustus 2019

Pegiat Sejarah Ungkap Riwayat Benteng Kedung Cowek Surabaya, Layak Disebut Cagar Budaya?

Soekarno pernah menyampaikan sebuah kalimat yang menggelorakan jiwa rakyat Indonesia.

Jangan pernah sekali-kali melupakan sejarah.

Tujuan Soekarno menyampaikan hal itu agar bangsa Indonesia tidak kehilangan jati dirinya.

Memasuki bulan Agustus, biasanya bangsa Indonesia merayakan hari kemerdekaannya.

Para pahlawan pun akan banyak dikenang jasanya.

Satu di antara hal yang bisa dilakukan untuk menghargai jasa para pahlawan adalah merawat tempat-tempat yang memiliki nilai sejarah.

Tujuannya, agar tempat bersejarah itu tidak hilang ditelan zaman.


Pegiat Sejarah Surabaya, Ady Setyawan


Sebab, belakangan memang banyak tempat bersejarah yang terancam hilang.

Satu di antaranya seperti Benteng Kedung Cowek, Surabaya yang kini tengah menjadi polemik.

Sebab belakangan benteng itu disebut-sebut akan jatuh ke swasta.

Hal itu kemudian memicu reaksi masyarakat Surabaya.

Tidak terkecuali pegiat sejarah Roodebrug Soerabaia, Ady Setyawan.

Ady mengungkapkan, Benteng Kedung Cowek memiliki historis yang panjang.

Menurutnya, benteng tersebut dibangun pada tahun 1900-an.

Itu terbukti dari arsip yang ditemukannya pada sebuah artikel koran terbitan Belanda.

"Saya dapat cetak birunya dari Belanda. Itu bisa terlihat, Benteng Kedung Cowek itu mulai direncanakan dan ditandatangani tahun 1900. Mulai 1899 sampai 1900 direncanakan," ungkap Ady kepada TribunJatim.com, Rabu (31/7/2019).

Selanjutnya, menurut Ady pada tahun 1903 ada artikel yang menyebutkan Benteng Kedung Cowek akan direnovasi pada tahun 1903.

"Itu berarti bentengnya sudah ada. Karena nanti bangunan yang baru itu akan dibangun dengan beton untuk menahan gempuran," jelas Ady.

Bahkan, menurut Ady, pada tanggal 15 Juli 1902 terjadi pendatangan meriam.

"Didatangkan tiga meriam dengan kaliber 150 milimeter, yang akan ditempatkan di benteng pertahanan pantai Kedung Cowek," terang Ady.

Sehingga, hal itu menguatkan keyakinan Ady, bangunan Benteng Kedung Cowek sebenarnya sudah berusia lebih dari 100 tahun.

Oleh karena itu, Benteng Kedung Cowek pun masuk ke dalam bangunan cagar budaya yang harus dilindungi.

Ady mengungkapkan, dirinya pun sudah melakukan berbagai cara untuk menyelamatkan Benteng Kedung Cowek.

Misalnya, ikut memberikan sejumlah arsip hingga menggelar seminar.

"Bahkan, kami menggelar diskusi yang persiapannya sangat kilat Hari Raya kemarin, dan dihadiri oleh sejumlah tokoh penting, serta masyarakat," ungkap Ady.

Termasuk juga mengirim surat ke Pangdam V/ Brawijaya, dan mengunjungi Benteng Kedung Cowek bersama Ketua DPRD Surabaya, Armuji.

Kondisi Benteng Kedung Cowek (TribunJatim.com)


"Setelah melihat langsung Benteng Kedung Cowek, Pak Armuji benteng itu harus dirawat. Bahkan, perwakilan TNI juga hadir, dan menunjukkan bukti bahwa aset itu milik mereka," ujar Ady.

Oleh karena itu, Ady berharap Pemkot Surabaya juga memiliki upaya keras untuk menyelamatkan Benteng Kedung Cowek.

"Mereka harus aktif, jangan begini cara kerjanya. Anda itu dapat gaji juga dari kami pembayar pajak," tandas Ady.


Artikel ini pernah tayang di TribunJatim.com Upaya Warga Surabaya Selamatkan Benteng Kedung Cowek, Benteng Berusia Ratusan Tahun

Selasa, 25 Juni 2019

Benarkah Rumah Nyai Ontosoroh Bumi Manusia Ada di Jalan Joyoboyo Surabaya? Pengamat Sejarah Beri Penjelasan

Mereka yang menggilai Tetralogi Pulau Buru, karya Pramoedya Ananta Toer, tentu tidak asing mendengar nama Nyai Ontosoroh.

Sebab, sosok Nyai Ontosoroh memang mengambil porsi yang cukup besar dalam novel tersebut.

Tentu saja, kehadiran Nyai Ontosoroh yang sangat menyita perhatian saat dia muncul dalam satu novel di antara tetralogi tersebut, tepatnya dalam novel Bumi Manusia.

Belakangan, novel Bumi Manusia memang akan difilimkan, tepatnya pada Agustus 2019 film itu akan ditayangkan di Bioskop di Indonesia.

Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia, diceritakan penulisnya, Pramoedya Ananta Toer, sebagai sosok wanita yang cerdas, dan tegar.

Kondisi terkini Rumah di Jalan Joyoboyo


Nyai Ontosoroh mengelola bisnis perkebunan bersama anaknya Annelies.

Nyai Ontosoroh harus mengalami ketidakadilan oleh kebijakan pemerintah kolonial saat itu.

Tepatnya, saat Annelies diwajibkan pulang ke Belanda, negeri asal ayahnya yang berkebangsaan Belanda.

Hal itu membuat Nyai Ontosoroh melakukan berbagai usaha untuk melawan, agar dirinya yang berstatus seorang nyai, atau kaum pribumi yang diperistri para pria Belanda, mendapatkan kedudukan yang sejajar.

Rupanya, Nyai Ontosoroh tak sendirian.

Dia dibantu oleh Minke, yang merupakan tokoh utama dari novel itu, dan kekasih dari Annelies.

Terlepas dari semua itu, Pramoedya menuliskan dalam novelnya, Nyai Ontosoroh bertempat tinggal, dan memiliki perkebunan yang luas di Surabaya.

Tepatnya, di Wonokromo.

Bahkan, menurut Pramoedya, rumah Nyai Ontosoroh tersebut sangat besar.

Sejumlah kabar di masyarakat menyebutkan, rumah yang diyakini menginspirasi Pramoedya untuk dijadikan sebagai rumah legendaris milik Nyai Ontosoroh itu benar-benar terletak di Wonokromo.

Rumah tersebut terletak di sekitar Terminal Joyoboyo, Surabaya.

Pengamat Sejarah Kota Surabaya, Kuncarsono Prasetyo pun berbicara mengenai hal ini.

Menurut Kuncar, sapaan akrabnya, rumah tersebut merupakan bekas kantor utama stasiun trem yang ada di tempat itu.

Tepatnya, sekitar tahun 1888.

Sebab, sebelum menjadi Terminal Joyoboyo, lokasi itu memang merupakan stasiun trem.

Kondisi bagian belakang rumah di Jalan Joyoboyo


"Stasiun trem itu dilalui oleh jalur dari Sepanjang, lalu sampai masuk ke kawasan Kota Surabaya, hingga Perak," ucap Kuncar saat dihubungi oleh TribunJatim,com, Rabu (27/2/2019).


Oleh karena itu, menurut Kuncar, di belakang rumah bergaya Indis itu seharusnya masih ada rel kereta.

Meski demikian, Kuncar mengungkapkan, Pramoedeya sebenarnya tidak pernah datang ke Surabaya.

Sehingga, bisa jadi hal itu memang berdasarkan imajinasi dari Pramoedya.

"Bisa jadi memang menginspirasi, tapi Pram memang tidak pernah ke Surabaya," ucap Kuncar.

Menurutnya, Pram memang memiliki kelebihan dalam hal berminajinasi saat menuliskan novelnya.

Termasuk saat menuliskan Bumi Manusia.

"Novel itu sendiri kan memang ditulis saat Pram ditahan di Pulau Buru. Jadi memang agak bersifat fiksi. Meskipun beberapa tempat yang disebutkan Pram memang ada, misalnya Kranggan dan sebagainya," tandas Kuncar.

Rumah di Jalan Joyoboyo tampak dari samping


Artikel ini pernah tayang di TribunJatim.com dengan perubahan

Melacak Legenda Rumah Nyai Ontosoroh di Novel Bumi Manusia, Pengamat Sejarah Beri Penjelasan

About

Planet Blog

PlanetBlog - Komunitas Blog Indonesia

Indonesian Blogger