Pages

Minggu, 21 Agustus 2016

Rokok

Matahari senja di Surabaya masih memberikan rasa terik, tatkala Sugiono menghentikan pekerjaannya. Sore itu pekerjaannya untuk mengaspal jalan memang selesai.

Meskipun telah selesai bekerja, tapi Sugiono tak ingin cepat-cepat kembali ke mess tempat biasanya dia tinggal. Dia ingin istirahat sejenak di bawah pohon keres yang ada di sekitar tempat itu, sembari mengeringkan keringatnya yang kata istrinya mirip bau tomat busuk di Pasar Wonokromo.

Saat melepas lelah seperti itulah, merupakan waktu paling nikmat bagi Sugiono. Sebab, dia bisa menikmati batang terakhir rokok Gudang Garam Surya miliknya. Rokok, itu dibelinya dari warung Cak Waras, yang tak jauh dari proyek tempatnya mengerjakan jalan tersebut.

Kepulan asap putih mulai keluar dari mulutnya. Biasanya, pikirannya begitu tenang, dan melayang saat menikmati lintingan candu itu. Namun kali ini ketenangan itu tak juga muncul.
Kepala Sugiono dipenuhi dengan berbagai masalah. Mulai dari rengekan istrinya yang ingin kontrakan baru, karena sudah 6 bulan telat membayar kontrakan rumah lama. Lalu, biaya sekolah ketiga anaknya yang semakin membuatnya pusing.

Namun, yang paling memusingkannya adalah harga rokok yang bakal naik. Kenaikannya pun dianggan Sugiono, dan kawan-kawan perokok lainnya tak tanggung-tanggung, sampai Rp 50 ribu setiap bungkusnya.
Jelas itu merupakan masalah yang besar bagi Sugiono. Bahkan, paling besar dibandingkan semua masalah yang dihadapinya selama ini, termasuk untuk membiayai sekolah anaknya yang sering menunggak pembayarannya.

Baginya kenaikan harga rokok adalah sebuah masalah besar, bahkan jika kenaikan itu hanya mencapai Rp 200 rupiah per batangnya, karena penghasilannya memang pas-pasan. Suatu ketika aku pernah menanyainya, kenapa dia tak berhenti merokok saja.

“Tidak bisa, merokok itu kebutuhan pokok. Merokok itu tidak ada bedanya dengan makan nasi. Bahkan, lebih baik tidak makan asalkan bisa merokok,”jawabnya saat itu sambil mengepulkan asap putih dari rokok filternya itu.

Kali ini dia juga menceritakan banyak soal keresahannya itu. Menurutnya, pemerintah itu tak peduli soal rakyat kecil yang telah memilihnya dulu.

“Bayangkan, berapa banyak pekerja pabrik rokok yang akan kena PHK kalau harga rokok dinaikkan? Jelas itu akan bikin ekonomi jadi seret, karena bakalan banyak pengangguran,”ujarnya sambil menarik rokok dari mulutnya.

Sugiono tak bisa menyembunyikan kekecewaan pada pemerintah yang telah dipilihnya pada pemilu lalu. Sugiono menganggap, pemerintah terlalu suka mempermainkan nasib rakyat kecil.

“Yang memilih dia kalau boleh ditanya itu sebagian besar pasti perokok, lagipula kalau merokok itu merusak kesehatan, kenapa tidak sekalian saja ditutup pabriknya?”kata Sugiono.

Mendengar perkataan itu, aku hanya mengiyakan pasrah. Sebab, aku juga tidak tahu dia mendapat data dari mana. Aku menduga, dia hanya mendengarkan ocehan politisi yang konstituennya sebagian besar perokok, dan juga berita di harian pagi yang di halaman muka, bagian bawahnya terdapat iklan rokok asal Surabaya sebesar seperempat halaman.

Dia juga melanjutkan, kalau dalih untuk menjaga kesehatan dengan tidak merokok itu omong kosong. “Orang yang tidak merokok itu bisa mati. Jadi merokok mati, tidak merokok juga mati, ya sekalian saja merokok,”lanjutnya.

Sayang, perbincanganku dengan Sugiono tak bisa terlalu lama, padahal aku sedang menikmatinya. Aku harus segera membersihkan diri, karena waktu salat ashar sudah mau habis. Tapi saat pamit, aku masih sempat menyodorkan bungkus rokok milikku, dan mempersilakan Sugiono mengambilnya.
“Ini ambil, dan kalau perlu ambil dua batang, supaya kau bisa nikmati rokoknya bareng anakmu yang mau masuk SMP itu,”ucapku.


“Ah gendeng awakmu (gila kamu), masak anakku tak suruh ngerokok? Bisa rusak dia,”jawabnya.  


Foto: http://rokokindonesia.com/wp-content/uploads/2016/02/Orang-Merokok.jpg

About

Planet Blog

PlanetBlog - Komunitas Blog Indonesia

Indonesian Blogger