Pages

Minggu, 06 Februari 2011

Ini Bukan Lontong Balap!!!


Minggu 6 Februari 2011

Sekitar jam 5 sore kurang 5 menit….

Sore yang cerah. Menulis sebuah opini pendek pun aku tak mampu di sore itu. Entah apa yang membuat terasa berat. Bahkan, hanya sekedar melelapkan diri ini dalam mimpi selama 5 menit pun aku tak sanggup. Entah kenapa aku tidak seperti biasanya, yang mudah sekali terlelap dalam pelukan langit sore, baik sedang cerah ataupun mendung.

Aku pun berusaha mengusir kegelisahan itu dengan turun dari kamar ku yang ada di loteng. Sebuah kamar yang cukup asyik, karena terdapat jendela yang bisa memandang langsung Kali Jagir yang legendaris itu (wuss….. lebay banget). Meskipun terkadang aku merasa tak seorang pun layak untuk hidup didalam sebuah kamar seperti kamarku itu, karena kondisinya seperti layaknya kapal pecah.

Dan aku pun duduk di depan televisi sambil berbincang ringan dengan ibuku. Namun tiba-tiba saja perhatianku tertuju pada sebuah gerobak yang ada di luar rumah, ya…sebuah gerobak penjual lontong balap. Kebetulan sekali gerobak itu berhenti di samping rumah, kebetulan juga pada saat itu aku sedang kepengen makan lontong balap, benar-benar semuanya serba kebetulan.

Tanpa pikir panjang dan lebar, aku pun langsung ambil piring dan memesan lontong balap itu. Tapi karena manusia harus belajar dari pengalaman, maka aku pun belajar dari pengalamanku waktu di hutan mangrove, supaya tidak terlalu kaget dengan harga makanan (baca tulisanku 2 Es Teh dan 3 Gorengan = Rp 8.500), maka aku pun berbisik lirih mendekati telingan kanan penjual lontong balap itu (kayak orang pacaran aja), “Pak Tigang ewu mawon, angsal pak?”.

“Oke mas”, jawabnya mantap. Mendengar jawaban yang mantap dari penjual lontong balap itu, maka mantap pula hatiku, karena sebelumnya aku berpikir betul dan takut untuk mengatakan itu, karena takut kena semprot sang penjual apabila ndak boleh.

Aku pun kembali masuk ke dalam rumah sambil menunggu penjuang lontong balap itu mengantarkan pesananku ke rumahku. Tak berselang berapa lama, lontong balap itu pun tersaji di piring depan mataku. Seolah-olah dia menantangku apakah aku sanggup menghabiskannya dalam waktu sekejap, karena lontong balap itu memang terlihat menggunung dengan tumpukan cambah atau toge.

Maka sendok ku pun bekerja untuk memasukkan lontong balap itu ke dalam mulutku. Benar-benar terobati sudah kerinduanku selama ini, yang sudah lama tidak memakan makanan khas Suroboyo. Bahkan pada suatu malam pada saat menjelang tidur aku pernah membayangkan tentang nikmatnya rasa lontong balap, karena perutku saat itu melilit karena sedang dilanda kelaparan.

Tak terasa lontong balap itu pun hampir habis akibat ulah kejamku kepadanya. Tapi pada saat itu terasa ada yang janggal dalam sajian lontong balap itu. Ada yang kurang dalam lontong balap itu. Oh ya….ternyata lontong balap ini tidak ada sate kerangnya. Lalu kecurigaanku tidak cukup sampai disitu saja, aku berusaha mengaduk-aduk tumpukan cambah yang hampir habis itu dengan sendokku, dan ternyata benar, dia memang juga tidak ada dalam sajian itu. Ya….lento itu memang tidak ada dalam sajian kuliner itu. Ternyata lontong balap itu hanya terdiri dari Lontong, cambah, tahu, petis, dan siraman kuah.

Aku benar-benar menyesal karena telah menyebutmu sebagai lontong balap. Karena dirimu memang tidak pantas disebut lontong balap, banyak komponen yang kurang dalam dirimu. Aku benar-benar tidak habis pikir, kenapa bisa terjadi hal seperti ini? Apakah sang penjual itu lupa memasukkan unsur-unsur itu ataukah karena lontong balap itu kuhargai hanya dengan uang Rp 3.000 saja?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

About

Planet Blog

PlanetBlog - Komunitas Blog Indonesia

Indonesian Blogger