Pages

Minggu, 02 Oktober 2011

Terorise dan Pengalihan Isu

Jakarta - Teror bom kembali mengancam Indonesia. Kali ini yang menjadi sasarannya adalah Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) di Solo. Ledakan bom tersebut pun menewaskan 1 orang, dan menyebabkan 22 orang mengalami luka-luka.

Tentunya teror bom tersebut membuat luka masyarakat Indonesia, terlebih karena hal itu terjadi di Solo, yang selama ini dikenal sebagai kota kecil yang penuh dengan ketenangan.

Teror bom yang terjadi di Solo tersebut seolah menandakan, bahwa terror bom bisa terjadi dimana saja, tidak hanya di kota-kota besar saja, atau yang memiliki kedekatan secara geografis dengan ibu kota pemerintahan saja.

Selain itu, peristiwa ini juga seolah memberikan sinyal kepada kita, bahwa Indonesia masih tidaklah sepenuhnya terbebas dari aksi teror bom, khususnya aksi bunuh diri. Ini adalah aksi kesekian kalinya dari para pelaku bom bunuh diri untuk menyebabkan terornya.

Aksi bom bunuh diri di Indonesia mulai terjadi pada tahun 2002, yaitu Bom Bali I yang saat itu terjadi di Paddy's Cafe dan Sari Club Bali. Saat itu terror bom tersebut menyebabkan tewasnya 202 jiwa.

Teror selanjutnya terjadi pada awal Agustus 2003, yang pada saat itu meledakkan Hotel JW Marriot, serta menyebabkan 11 orang tewas. Lalu pada 9 September 2004 terjadi di depan Kedubes Australia di Jakarta, yang menyebabkan 9 orang harus kehilangan nyawanya.

Teror bom juga kembali meledak di Bali pada tanggal 1 Oktober 2005, yang telah menewaskan 25 orang, selanjutnya kejadian ini lebih dikenal sebagai peristiwa Bom Bali II. Jakarta juga harus kembali diguncang oleh teror bom bunuh diri yang terjadi pada 17 Juli 2009 di Hotel JW Marriot, serta menyebabkan 9 orang tewas.

Dan yang paling mengejutkan adalah bom yang meledak Markas Polres Kota Cirebon, pada tanggal 15 April 2011, dan menewaskan 1 orang. Hal tersebut dinilai sangat mengejutkan karena hal tersebut terjadi di dalam sebuah markas Polisi.


Sebuah Pengalihan Isu?

Dalam pidatonya pasca peledakan bom di Solo, Presiden SBY menyampaikan, peledakan bom di GBIS Solo, Jawa Tengah, membuktikan ancaman teror masih ada dan nyata di tanah air. Presiden juga meminta hukum harus ditegakkan dan rakyat harus dilindungi.

Pidato semacam ini tentunya sudah banyak kita dengar dari Presiden pasca terjadinya berbagai teror bom pada beberapa waktu yang lalu. Dalam berbagai pidatonya tersebut, Presiden SBY selalu menegaskan, bahwa pemerintah akan memerangi terorisme hingga ke akar-akarnya, serta memberikan jaminan keamanan kepada masyarakat. Namun, pada kenyataannya, terorisme masih saja terus terjadi di negara ini.

Banyak yang berpendapat, bahwa peristiwa teror bom yang terjadi di GBIS Solo ini menunjukkan upaya pemerintah dalam memerangi terorisme masih belum berjalan maksimal. Pemerintah dianggap lalai dalam menjaga keamanan di dalam negerinya untuk menghadapi tindakan para terorisme.

Namun, tidak sedikit pula yang mengatakan, bahwa ini merupakan upaya pengalihan isu dari pihak tertentu untuk menutupi isu yang saat ini sedang banyak dibicarakan.

Teror bom kali ini bertepatan dengan banyaknya isu yang saat ini juga menyita perhatian banyak orang, seperti masalah kasus Wisma Atlet yang melibatkan berbagai pihak dari petinggi Partai Demokrat, bahkan petinggi KPK pun juga ikut terkait dalam masalah ini. Selain itu, juga ada masalah terkait kasus suap di tubuh Kemenakertrans, dan juga yang tidak kalah panasnya adalah isu reshuffle kabinet.

Ada pihak-pihak tertentu yang merasa kepentingannya akan terusik bila kasus-kasus tersebut mencuat, dan tidak segera diredam. Sehingga, diperlukan sebuah isu lain yang berfungsi untuk meredamnya, dan menarik perhatian masyarakat.

Oleh karena itulah, banyak pihak yang meragukan kalau permasalahan terorisme di negeri ini bisa terselesaikan hingga ke akarnya. Sebab, terorisme di negara ini seolah-olah dipelihara oleh pihak-pihak tertentu dalam mengamankan posisinya.

Masyarakat pun seolah telah hafal jika tindak terorisme akan selalu muncul setiap ada peristiwa besar di negeri ini yang melibatkan permasalahan hukum dan politik.

Terorisme seolah-olah menjadi sebuah siklus rutin yang digunakan oleh pihak tertentu dalam agendanya untuk mengalihkan isu. Bahkan, tidak jarang konflik horizontal di dalam masyarakat juga turut menyertai agenda pengalihan isu tersebut.

Tentunya semua keraguan yang dilontarkan oleh berbagai pihak tersebut ditujukan kepada pemerintah. Maka hal itu sudah menjadi tugas dari pemerintah untuk segera menjawab keraguan tersebut.

Pemerintah harus menjawab keraguan itu dengan tindakan nyata. Masalah terorisme haruslah segera diselesaikan oleh pemerintah hingga ke akarnya. Pemerintah seharusnya segera menemukan akar permasalahan dari berbagai tindakan terorisme, sehingga bisa segera menyelesaikannya.

Maka dari sini, komitmen pemerintah dalam rangka memerangi terorisme harus segera dibuktikan, tentu saja memerangi dalam konteks ini tidak hanya dengan tindakan represif semata. Pemerintah harus segera bisa membuktikan kepada masyarakat, bahwa terorisme di Indonesia bisa segera berakhir.

Sebab, apabila pemerintah tidak bisa segera menyelesaikan masalah ini, maka tidak salah jika masyarakat menganggap komitmen pemerintah untuk memerangi terorisme hanyalah angan kosong, serta akan muncul anggapan dari masyarakat bahwa tindakan terorisme yang terjadi di negeri ini memang sengaja dipelihara, serta tidak akan bisa hilang sama sekali.

*Penulis adalah Ketua Yayasan Indonesia Cendekia, Alumnus FISIP Universitas Airlangga (http://www.detiknews.com/read/2011/09/28/120919/1732163/471/terorisme-dan-pengalihan-isu) (28 September 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

About

Planet Blog

PlanetBlog - Komunitas Blog Indonesia

Indonesian Blogger