Sebagai sebuah kota yang telah berusia 722 tahun,
Surabaya tentunya memiliki banyak bangunan cagar budaya yang bernilai sejarah
tinggi. Sayang, tidak semuanya diketahui oleh masyarakat sebagai cagar budaya.
Padahal, tidak jarang bangunan-bangunan tersebut
memiliki sejarah, dan cerita yang menarik di balik pembangunannya. Salah
satunya adalah Masjid Kemayoran yang ada di Jalan Indrapura.
Masjid yang
sebenarnya bernama Roudhotul Musawwaroh ini didirikan pada tahun 1772 silam.
Terdapat cerita menarik di balik pendirian masjid
ini. Awalnya, lokasi Masjid Rhoudotul Musawwaroh tidaklah berada di Jalan
Indrapura seperti sekarang ini. Melainkan, berada di depan Kantor Gubernur
Jatim, atau Jalan Pahlawan tepatnya berada di areal Tugu Pahlawan sebelum tahun
1722.
Salah seorang Takmir Masjid Kemayoran Subhan
mengatakan, keberadaan Masjid Rhoudotul Musawwaroh saat itu dipermasalahkan
oleh pemerintah kolonial Belanda. Alasannya saat itu pemerintah Belanda merasa
terganggu dengan adanya masjid tersebut. “Mereka itu orang-orang Belanda risih
kalau di depannya ada pengajian, adzan, dan puji-pujian dari masjid,”tutur
Subhan.
Oleh karena itu, pemerintah Belanda kemudian meminta
kepada warga agar tidak tidak ada masjid di tempat itu. Keinginan semacam itu
tentu saja langsung ditolak oleh masyarakat. Bahkan, masyarakat pun menjadi
marah karenanya. Akibatnya pertempuran hebat puin meletus pada tahun 1750.
Subhan menuturkan, pertempuran itu dipimpin langsung oleh Kiai Badrun.
Berdasarkan pengakuan Subhan, Kiai Badrun merupakan
kerabat dari Paku Alam V dari Kasunan Surakarta. “Jadi beliau itu masih
memiliki keturunan ningrat,”urai Subhan.
Dalam pertempuran itu, Kiai Badrun
gugur tertembak oleh pasukan Belanda. Sebagai bentuk penghargaan atas
kepemimpinannya dalam melawan Belanda, masyarakat sekitar pun memberinya gelar
sebagai Mbah Sedo Masjid.
Meski demikian, konflik terkait pemindahan masjid
itu masih belum berhenti. Masyarakat saat it uterus melakukan perlawanan terhadap
rencana Belanda tersebut.
Perlawanan yang begitu hebat dari masyarakat saat itu
akhirnya membuahkan hasil. Belanda kemudian mengubah kebijakannya. Caranya,
dengan memindahkan masjid itu ke lokasi lainnya. “Jadi semacam dilakukan tukar
guling tanah,”ucap Subhan.
Kebijakan itu pun mendapatkan persetujuan dari
masyarakat. Sehingga, masjid itu dipindahkan ke sebuah lahan bekas milik
seorang milik mayor angkatan darat Belanda, yang berada di sisi utara lokasi
asal. “Makanya, masyarakat kemudian sering menyebut masjid ini dengan nama
Masjid Kemayoran,”papar Subhan.
Subhan melanjutkan, saat dipindahkan awalnya masjid
ini memiliki dua menara, atau menara kembar. Namun, belakangan menara tersebut
hanya tinggal sebuah. Menurutnya, hal itu disebabkan adanya gempa yang pernah
melanda Surabaya. Sayang, Subhan tidak mengingat dengan jelas kapan hal itu
terjadi.
Penjelasan itu juga untuk membantah kabar yang
selama ini beredar, jika masjid menara itu tinggal sebuah karena adanya
sambaran petir. “Jadi yang soal tersambar petir itu sama sekali tidak
benar,”bantah Subhan.
Sumber foto: http://surabaya.panduanwisata.id/wisata-religi/mengenang-sejarah-dan-wisata-religi-di-masjid-kemayoran/
Selain menara yang hanya tinggal satu, Subhan
mengungkapkan, sebagian kondisi masjid yang memiliki luas sekitar 800 meter
persegi itu memang telah mengalami perubahan. Salah satunya dengan membangun
ruang tambahan, serta tempat wudhu agar bisa lebih banyak jamaah yang bisa
tertampung. Sedangkan, beberapa bagian asli dari masjid itu tampak masih
dipertahankan. Misalnya, sebuah prasasti yang tertempel di dalam masjid.
Prasasti itu ditulis dalam aksara Jawa, yang berisi tentang pernyataan dari
Gubernur Jenderal Belanda saat itu Mister Daniel Frans Willem Pietermat, yang
telah memberikan masjid itu kepada warga. Dalam prasasti itu juga disebutkan
masa pembangunan masjid itu antara tahun 1772 hingga 1776.
Sementara itu, sejarawan Surabaya Dukut Imam Widodo
mengatakan bangunan Masjid Roudhotus Musawwaroh, atau Masjid Kemayoran yang
saat ini sudah jauh berbeda dengan bentuk aslinya. “Sepertinya memang sudah
banyak direnovasi untuk berbagai keperluan, seperti yang ada di ruang utama
masjid,”jelas Dukut.
Penulis buku Soerabaia Tempo Doeloe itu menyayangkan
renovasi besar-besaran masjid itu, yang justru menghilangkan corak asli
bangunan. “Masyarakat kita itu kalau membangun rata-rata selalu disertai dengan
perobohan bangunan asli, dan selalu mementingkan kemegahan. Padahal, kalau mau
mempercantik kan bisa dengan menambah bangunan baru di sekitar masjid,”sesal
Dukut. (jan) (Tulisan ini pernah diterbitkan di Harian
Radar Surabaya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar