Matahari senja di Surabaya masih memberikan rasa terik,
tatkala Sugiono menghentikan pekerjaannya. Sore itu pekerjaannya untuk
mengaspal jalan memang selesai.
Meskipun telah selesai bekerja, tapi Sugiono tak ingin cepat-cepat
kembali ke mess tempat biasanya dia tinggal. Dia ingin istirahat sejenak di
bawah pohon keres yang ada di sekitar tempat itu, sembari mengeringkan
keringatnya yang kata istrinya mirip bau tomat busuk di Pasar Wonokromo.
Saat melepas lelah seperti itulah, merupakan waktu paling nikmat
bagi Sugiono. Sebab, dia bisa menikmati batang terakhir rokok Gudang Garam
Surya miliknya. Rokok, itu dibelinya dari warung Cak Waras, yang tak jauh dari
proyek tempatnya mengerjakan jalan tersebut.
Kepulan asap putih mulai keluar dari mulutnya. Biasanya,
pikirannya begitu tenang, dan melayang saat menikmati lintingan candu itu.
Namun kali ini ketenangan itu tak juga muncul.
Kepala Sugiono dipenuhi dengan berbagai masalah. Mulai dari
rengekan istrinya yang ingin kontrakan baru, karena sudah 6 bulan telat
membayar kontrakan rumah lama. Lalu, biaya sekolah ketiga anaknya yang semakin
membuatnya pusing.
Namun, yang paling memusingkannya adalah harga rokok yang
bakal naik. Kenaikannya pun dianggan Sugiono, dan kawan-kawan perokok lainnya
tak tanggung-tanggung, sampai Rp 50 ribu setiap bungkusnya.
Jelas itu merupakan masalah yang besar bagi Sugiono. Bahkan,
paling besar dibandingkan semua masalah yang dihadapinya selama ini, termasuk
untuk membiayai sekolah anaknya yang sering menunggak pembayarannya.
Baginya kenaikan harga rokok adalah sebuah masalah besar,
bahkan jika kenaikan itu hanya mencapai Rp 200 rupiah per batangnya, karena penghasilannya
memang pas-pasan. Suatu ketika aku pernah menanyainya, kenapa dia tak berhenti
merokok saja.
“Tidak bisa, merokok itu kebutuhan pokok. Merokok itu tidak
ada bedanya dengan makan nasi. Bahkan, lebih baik tidak makan asalkan bisa
merokok,”jawabnya saat itu sambil mengepulkan asap putih dari rokok filternya
itu.
Kali ini dia juga menceritakan banyak soal keresahannya itu.
Menurutnya, pemerintah itu tak peduli soal rakyat kecil yang telah memilihnya
dulu.
“Bayangkan, berapa banyak pekerja pabrik rokok yang akan
kena PHK kalau harga rokok dinaikkan? Jelas itu akan bikin ekonomi jadi seret,
karena bakalan banyak pengangguran,”ujarnya sambil menarik rokok dari mulutnya.
Sugiono tak bisa menyembunyikan kekecewaan pada pemerintah
yang telah dipilihnya pada pemilu lalu. Sugiono menganggap, pemerintah terlalu
suka mempermainkan nasib rakyat kecil.
“Yang memilih dia kalau boleh ditanya itu sebagian besar
pasti perokok, lagipula kalau merokok itu merusak kesehatan, kenapa tidak
sekalian saja ditutup pabriknya?”kata Sugiono.
Mendengar perkataan itu, aku hanya mengiyakan pasrah. Sebab,
aku juga tidak tahu dia mendapat data dari mana. Aku menduga, dia hanya
mendengarkan ocehan politisi yang konstituennya sebagian besar perokok, dan
juga berita di harian pagi yang di halaman muka, bagian bawahnya terdapat iklan
rokok asal Surabaya sebesar seperempat halaman.
Dia juga melanjutkan, kalau dalih untuk menjaga kesehatan
dengan tidak merokok itu omong kosong. “Orang yang tidak merokok itu bisa mati.
Jadi merokok mati, tidak merokok juga mati, ya sekalian saja merokok,”lanjutnya.
Sayang, perbincanganku dengan Sugiono tak bisa terlalu lama,
padahal aku sedang menikmatinya. Aku harus segera membersihkan diri, karena waktu
salat ashar sudah mau habis. Tapi saat pamit, aku masih sempat menyodorkan
bungkus rokok milikku, dan mempersilakan Sugiono mengambilnya.
“Ini ambil, dan kalau perlu ambil dua batang, supaya kau
bisa nikmati rokoknya bareng anakmu yang mau masuk SMP itu,”ucapku.
“Ah gendeng awakmu (gila
kamu), masak anakku tak suruh ngerokok? Bisa rusak dia,”jawabnya.
Foto: http://rokokindonesia.com/wp-content/uploads/2016/02/Orang-Merokok.jpg
makasih kak
BalasHapus