Sebagian orang mungkin masih menganggap kalau cerita Nyai
Dasima hanya sebatas cerita rakyat biasa. Namun, cerita tentang Nyai Dasima
sebenarnya lebih dari itu.
Bahkan, saya baru mengetahui jika cerita Nyai Dasima
memiliki dua versi, bahkan bisa lebih setelah membaca buku Nyai Dasima terbitan
Masup Jakarta. Bukut tersebut memuat kisah Nyai Dasima dalam 2 versi. Di
Antaranya versi penulis lokal SM Ardan, dan versi GFrancis.
Mudah diketahui, jika yang versi Ardan merupakan bentuk
tandingan cerita Nyai Dasima versi
Francis yang telah ditulis pada abad 19 tersebut.
Berikut saya akan mencoba menampilkan resensi cerita Nyai
Dasima versi karya G Francis.
Dalam tulisannya, Francis tampaknya ingin menampilkan sosok
Dasima sebagai seorang Nyai yang cantik rupawan, dan hidup serba berkecukupan
setelah dijadikan Nyai atau bini piare dalam
istilah masyarakat Betawi saat itu, oleh seorang Inggris bernama William, atau
Tuan W.
Tidak hanya itu, Francis juga menggambarkanTuan W sebagai
sosok yang baik, dan bisa dianggap pula sebagai “korban” kelicikan para tokoh
pribumi. Tentu saja bisa dimaklumi alur yang dibuat oleh Francis tersebut.
Mengingat hal itu juga berkaitan dengan kepentingan kolonialisme saat itu.
Selain itu, juga sangat kental terasa dalam versi yang ditulis oleh Francis
tersebut, sang penulis menempatkan agama Islam sebagai salah satu faktor yang
menyebabkan sang tokoh utama Nyai Dasima menderita.
Konflik mulai terjadi ketika Nyai Dasima mempekerjakan Mak
Buyung sebagai pelayannya. Mak Buyung merupakan seorang janda tua asal kampung Pejambon.
Sebuah kampung yang saat itu, tepatnya pada tahun 1820 an masih berupa setengah
hutan di Jakarta.
Namun, bekerjanya Mak Buyung pada sang Nyai sebenarnya bukan
tanpa sebab. Melainkan atas rekayasa yang dilakukan oleh seorang lelaki muda
yang punya latar belakang buruk, penadah, dan tukang madat, Samiun.
Samiun meminta supaya Mak Buyung melamar kerja di rumah Nyai
Dasima dan Tuan W, karena memiliki niatan untuk memperistri Nyai Dasima. Mak
Buyung yang sebelumnya merasa sering ditolong hidupnya oleh Samiun, langsung
menyanggupinya.
Mak Buyung datang ke rumah Nyai Dasima dengan berpura-pura
sebagai penjual telur. Saat menawarkan dagangannya, Mak Buyung berhasil memikat
hati sang Nyai, dengan mengatakan bahwa dirinya adalah seorang janda miskin,
dan sedang membutuhkan pekerjaan tetap. Merasa iba, Nyai Dasima pun
mempekerjakannya sebagai pembantu rumah tangganya.
Setelah bekerja di rumah Nyai Dasima, Mak Buyung
perlahan-lahan mulai “menggosok” sang Nyai dengan berbagai bujukannya. Hal itu
sesuai dengan apa yang diminta oleh Samiun kepada dirinya. Tujuannya, agar Nyai
Dasima tidak betah lagi menjadi “bini piare” Tuan W, dan mau menjadi istri
resmi Samiun.
Karena terus mendapatkan bujuk rayu dari Mak Buyung, Nyai
Dasima kemudian mulai mengalami kebimbangan. Nyai Dasima mulai berpikir untuk kembali hidup dan berkumpul dengan bangsanya sendiri, serta menjadi seorang muslim yang utuh karena tidak menjadi istri seorang kafir akibat bujukan dari Mak Buyung.
Perlahan tapi pasti, Nyai Dasima pun mulai memiliki
pemikiran untuk bercerai dengan Tuan W, dan segera menikah dengan Samiun. Sebenarnya,
selain meminta bantuan Mak Buyung, Samiun juga meminta kepada seorang dukun bernama
Salihun. Salihun dimintai tolong oleh Samiun untuk mengguna-gunai Nyai Dasima.
Tak membutuhkan waktu lama, Nyai Dasima kemudian meminta
cerai dari Tuan W. Konsekuensi perceraian itu, Nyai Dasima harus kehilangan hak
asuh atas anaknya Nancy, yang dalam hukum kolonial harus mendapatkan pengasuhan
dari Tuan W.
Setelah bercerai dengan Tuan W, Nyai Dasima segera menikah
dengan Samiun sebagai istri muda. Namun, kebahagiaan kehidupan Samiun dan Nyai
Dasima yang berasal dari Kampung Kahuripan itu, hanya berlangsung beberapa
hari.
Sebab, istri tua Samiun, Hayati memperlakukannya sebagai
pembantu. Bahkan, ibu Samiun, Mak Leha juga tidak lebih buruk perlakuannya
kepada Nyai Dasima. Tidak hanya itu, Hayati juga sering merampas harta milik Nyai
Dasima yang dibawanya pasca perceraianya, untuk berjudi ceki atau kartu.
Mendapatkan perlakuan tak manusiawi, sang Nyai meminta
bercerai kepada Samiun. Sayang, Samiun tak menyetujuinya. Untuk menenangkan
hati Nyai Dasima, Samiun berjanji untuk mengantarkan pulang istri mudanya itu
ke kampung asalnya Kahuripan.
Namun, rupanya Samiun memiliki rencana lain. Dia justru
ingin membunuh Nyai Dasima karena dianggap bisa merepotkannya. Rencana
pembunuhan itu dia diskusikan bersama istri tuanya Hayati, dan ibunya Mak Leha.
Untuk memuluskan hal itu, Samiun juga menyewa seorang pembunuh bayaran, yang
merupakan preman Bang Puasa.
Hari nahas pun tiba. Samiun mengatakan kepada Nyai Dasima,
bahwa dia akan mengajaknya menonton pementasan cerita rakyat Amir Hamzah di Kampung
Ketapang. Saat itu, mereka berangkat berempat, dengan Bang Puasa, dan Kuntum
yang merupakan budak Mak Leha (saat itu perbudakan masih menjadi sesuatu yang
legal di Batavia).
Saat melewati pinggiran di kali Ciliwung, Samiun melancarkan
aksinya. Tanpa dikomandoi lagi, Bang Puasa langsung memburu Nyai Dasima dengan pukulan
dari kayu asem. Dengan beberapa kali pukulan, Nyai Dasima menemui ajalnya.
Mayat perempuan itu kemudian dibuang oleh Samiun dan Bang Puasa di di kali
Ciliwung. Awalnya mereka tidak mengira jika tidak ada saksi mata atas
perbuatannya itu. Namun, mereka tidak menyadari jika terdapat beberapa orang
tetangga mereka yang menyaksikan pembunuhan itu, karena saat itu mereka sedang
memancing di pinggiran kali Ciliwung.
Sebenarnya pembunuhan itu kemungkinan akan berjalan mulus,
jika saja mayat Nyai Dasima tidak dihanyutkan di kali Ciliwung. Sebab, beberapa
saat setelahnya, mayat itu tersangkut di pagar pembatas rumah Tuan W di kali
Ciliwung (pagar itu berfungsi untuk membuat semacam tempat mandi kecil yang
berhubungan langsung dengan kali Ciliwung).
Saat mayat itu tersangkut, salah seorang pembantu Tuan W
yang akan memandikan Nancy menemukannya. Karena takut, pembantu itu
melaporkannya kepada Tuan W. Mengetahui itu adalah mayat Nyai Dasima, Tuan W
melaporkannya kepada kepala kampung, dan polisi. Tanpa membuang waktu lagi,
mereka segera mengusutnya.
Sempat mengalami kesulitan, polisi itu kemudian membuat
sayembara, barang siapa saja yang bisa menemukan pelaku pembunuhan itu akan
diberinya hadiah sejumlah uang. Warga yang juga merupakan saksi mata pembunuhan
itu langsung memberitahukan siapa pembunuh Nyai Dasima. Tak membutuhkan wakt
lama, para pelaku yang di antaranya Samiun, Bang Puasa, dan Kuntum ditangkap
polisi.
Foto buku Nyai Dasima terbitan Masup Jakarta